Raden Qasim atau Raden Syarifuddin
Raden Qasim atau Raden Syarifuddin, adalah
salah satu dari Wali Songo di tanah Jawa yang terkenal Sunan Drajat. Beliau
termasuk tokoh Karismatik dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa dan di
luar tanah Jawa. Beliau adalah putra dari Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan ibu yang bernama Nyi Ageng Manila. Nyi
Ageng Manila adalah putri dari seorang adipati di Tuban, yang bernama Arya
Teja.
Nama "Drajat" diambil dari nama
wilayah tempat Sunan Drajat menjalankan dakwahnya, yaitu Desa Drajat di
Kecamatan Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Raden Qasim menetap dan mendirikan
pesantren di desa ini, yang kemudian dikenal sebagai pusat pengajaran Islam di
wilayah tersebut. Seiring waktu, masyarakat mulai mengenal beliau sebagai Sunan
Drajat, mengacu pada tempat tinggal dan aktivitas dakwahnya.
Masa
Kecil
Sunan Drajat lahir sekitar abad ke-15 di
Ampel Denta, Surabaya. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang cerdas dan
memiliki minat mendalam terhadap agama Islam. Ayahnya, Sunan Ampel, adalah guru
besar agama Islam yang mendidik Sunan Drajat dengan pengetahuan Islam dan
nilai-nilai kebajikan. Dari masa kecil, Raden Qasim sudah menunjukkan karakter
kepemimpinan dan kecintaan terhadap membantu sesama.
Masa
Remaja dan Dakwah
Setelah cukup dewasa, Sunan Drajat diutus
oleh ayahnya untuk berdakwah di wilayah pesisir utara Jawa, khususnya di daerah
Lamongan. Di sana, beliau mendirikan sebuah pesantren dan dikenal sebagai ulama
yang bijak serta sangat peduli terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar.
Sunan Drajat menekankan ajaran Islam yang
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, kasih sayang, dan kedermawanan. Ia
terkenal dengan kepeduliannya terhadap fakir miskin, anak yatim, dan mereka
yang membutuhkan. Salah satu ajarannya yang terkenal adalah "Pikukuh kang
wong cilik, wenehono teken marang wong kang wuto, wenehono pangan marang wong
kang luwe, wenehono busono marang wong kang wudo, wenehono payung marang wong
kang kaudanan". Artinya adalah memberi tongkat kepada yang buta, memberi makan
kepada yang lapar, memberi pakaian kepada yang telanjang, dan memberi payung
kepada yang kehujanan. Ajaran ini mencerminkan betapa besar perhatian Sunan
Drajat terhadap kesejahteraan sosial dan memperkuat nilai-nilai gotong royong
dalam masyarakat.
Dakwah
di Lamongan
Dalam menjalankan dakwahnya, Sunan Drajat
tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga memperkenalkan keterampilan hidup
yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Beliau mendirikan pusat
pendidikan dan ekonomi yang mengajarkan keterampilan bercocok tanam, berdagang,
dan seni. Melalui pendekatan ini, ajaran Islam semakin mudah diterima oleh
masyarakat Lamongan dan sekitarnya.
Di Desa Drajat, Kecamatan Paciran,
Lamongan, Sunan Drajat mendirikan pesantren dan tinggal di sana hingga akhir
hayatnya. Di daerah inilah ia mengembangkan dakwahnya dengan sangat pesat dan
berhasil mengislamkan banyak masyarakat Jawa.
Akhir
Hayat
Sunan Drajat wafat pada tahun 1522 M.
Beliau dimakamkan di daerah Drajat, Lamongan, yang kemudian menjadi tempat
ziarah yang ramai dikunjungi hingga saat ini. Warisannya dalam bentuk ajaran
Islam yang sarat dengan nilai-nilai sosial dan kemanusiaan terus dikenang dan
dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya. Sunan Drajat meninggalkan jejak
yang sangat mendalam dalam penyebaran Islam di Jawa, terutama melalui
pendekatannya yang humanis dan kearifannya dalam mengatasi persoalan sosial di
masyarakat.
Keturunan
Sunan Drajat
Sunan Drajat memiliki keturunan yang terus
menjaga dan melestarikan ajaran Islam, baik dalam pendidikan agama maupun peran
sosial di masyarakat. Namun, tidak banyak data sejarah yang mendokumentasikan
secara lengkap garis keturunan Sunan Drajat hingga generasi sekarang. Yang
diketahui adalah beberapa keturunan langsung dari Sunan Drajat melanjutkan
peran dakwah dan kepemimpinan agama di wilayah Jawa, seperti halnya para Wali
Songo lainnya.
Di antara anak-anak Sunan Drajat yang
terkenal adalah:
1.
Sunan Dalem (Raden
Suryadilaga): Salah satu putra Sunan Drajat yang
melanjutkan dakwah Islam. Ia juga dikenal dengan nama Raden Suryadilaga dan
berperan penting dalam penyebaran Islam di Jawa Timur.
2.
Pangeran Trenggana:
Ada juga yang menyebutkan bahwa keturunan Sunan Drajat terhubung dengan
tokoh-tokoh kerajaan Demak, seperti Pangeran Trenggana, meskipun garis
keturunan ini kadang diperdebatkan karena adanya versi yang berbeda dalam
sumber sejarah. Selain itu, banyak keturunan Sunan Drajat yang tersebar di
berbagai wilayah Jawa, khususnya di sekitar Lamongan, yang dikenal sebagai
pusat dakwah dan peninggalan beliau. Banyak dari keturunan tersebut yang
menjadi ulama, tokoh agama, dan pemimpin masyarakat lokal.
Berikut beberapa peninggalan Sunan Drajat
yang terkenal:
1.
Masjid Sunan Drajat
Masjid
Sunan Drajat yang terletak di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten
Lamongan, Jawa Timur, adalah salah satu peninggalan yang paling dikenal. Masjid
ini didirikan oleh Sunan Drajat dan digunakan sebagai tempat dakwah serta pusat
pendidikan Islam. Meskipun masjid tersebut telah mengalami beberapa renovasi,
masjid ini tetap menjadi pusat kegiatan keagamaan hingga kini.
2.
Pesantren Drajat
Sunan
Drajat juga mendirikan sebuah pesantren di wilayah Drajat, yang pada masanya
berfungsi sebagai pusat pembelajaran Islam dan tempat untuk melatih masyarakat
agar mandiri secara ekonomi. Pesantren ini mengajarkan tidak hanya ilmu agama,
tetapi juga keterampilan hidup seperti bertani, berdagang, dan seni. Pesantren
ini menjadi model awal untuk lembaga pendidikan Islam yang dikembangkan oleh
para wali lainnya di Jawa.
3.
Makam Sunan Drajat
Makam
Sunan Drajat yang terletak di Desa Drajat, Lamongan, adalah salah satu situs
ziarah penting bagi umat Islam di Indonesia. Kompleks makam ini tidak hanya
menjadi tempat peristirahatan terakhir Sunan Drajat, tetapi juga tempat
spiritual yang sering dikunjungi oleh masyarakat untuk memohon berkah dan
mendoakan beliau. Makam ini juga menjadi simbol penghormatan terhadap jasa-jasa
Sunan Drajat dalam menyebarkan Islam.
4.
Gamelan Singomengkok
Sunan
Drajat juga meninggalkan peninggalan berupa alat musik tradisional gamelan yang
dikenal dengan nama Gamelan Singomengkok. Alat musik ini dipercaya digunakan
oleh Sunan Drajat dalam berdakwah melalui pendekatan seni dan budaya. Melalui
musik gamelan, Sunan Drajat mampu mendekati masyarakat Jawa yang saat itu
sangat akrab dengan kesenian, sehingga ajaran Islam lebih mudah diterima.
5.
Piagam dan Ajaran Sosial
Sunan
Drajat dikenal sebagai wali yang memiliki kepedulian sosial tinggi. Salah satu
peninggalan non-fisiknya adalah ajaran-ajaran sosial yang mencerminkan
kedermawanan dan kepedulian terhadap kaum miskin dan tertindas. Beberapa ajaran
terkenal yang ditinggalkannya adalah:
·
Pikukuh kang wong
cilik: Memberikan perlindungan kepada orang kecil.
·
Wenehono teken
marang wong kang wuto: Memberikan tongkat kepada yang buta.
·
Wenehono pangan
marang wong kang luwe: Memberikan makan kepada yang lapar.
·
Wenehono busono
marang wong kang wudo: Memberikan pakaian kepada yang
telanjang.
·
Wenehono payung
marang wong kang kaudanan: Memberikan payung kepada yang
kehujanan.
Ajaran-ajaran ini
menggambarkan betapa besar perhatian Sunan Drajat terhadap kesejahteraan sosial
dan nilai gotong royong, yang menjadi warisan moral penting bagi masyarakat.
6.
Sendang Duwur
Sumber air
(sendang) di wilayah Drajat juga merupakan salah satu peninggalan yang diyakini
berasal dari Sunan Drajat. Sendang ini sering dianggap memiliki nilai sejarah,
karena menjadi sumber air bersih yang sangat berguna bagi masyarakat sekitar
pada masa itu.
Gelar
Sunan Drajat
Nama Sunan Drajat
yang disematkan pada Raden Qasim memiliki makna penting dalam konteks sejarah
dan peran beliau dalam penyebaran Islam di Jawa. Ada beberapa penjelasan
terkait asal-usul nama ini:
1. Lokasi Penyebaran Dakwah
Nama
"Drajat" diambil dari nama wilayah tempat Sunan Drajat menjalankan
dakwahnya, yaitu Desa Drajat di Kecamatan Paciran, Lamongan, Jawa Timur. Raden
Qasim menetap dan mendirikan pesantren di desa ini, yang kemudian dikenal
sebagai pusat pengajaran Islam di wilayah tersebut. Seiring waktu, masyarakat
mulai mengenal beliau sebagai Sunan Drajat, mengacu pada tempat tinggal dan
aktivitas dakwahnya.
2. Makna Filosofis dari "Drajat"
Secara
etimologis, kata "Drajat" berasal dari bahasa Arab
"darajat" yang berarti tingkatan atau derajat. Nama ini mencerminkan
kedudukan beliau yang tinggi dalam masyarakat, baik secara spiritual maupun
sosial. Sunan Drajat dianggap mencapai derajat yang tinggi dalam hal keimanan,
kebijaksanaan, serta kepedulian sosial. Melalui ajarannya yang penuh kasih
sayang kepada kaum miskin dan perhatian terhadap kesejahteraan umat, Sunan
Drajat mendapatkan pengakuan sebagai seorang wali yang memiliki
"derajat" mulia di mata masyarakat.
3.
Penghormatan sebagai Wali Songo
Sebagai
salah satu anggota Wali Songo, julukan "Sunan" (gelar kehormatan
untuk wali atau pemimpin spiritual) diberikan kepada Raden Qasim. Gelar Sunan
biasanya diberikan kepada ulama yang memiliki peran penting dalam menyebarkan
agama Islam dan memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Kombinasi dari
"Sunan" dan "Drajat" tidak hanya merujuk pada wilayah
dakwah beliau, tetapi juga menunjukkan posisi beliau sebagai sosok yang
dihormati dalam hierarki keagamaan.
4.
Peran Sosial dan Kedermawanan
Nama
"Drajat" juga bisa dikaitkan dengan ajaran dan tindakan sosial Sunan
Drajat yang sangat peduli pada peningkatan derajat kehidupan masyarakat kecil.
Beliau dikenal sebagai sosok yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat melalui
pendidikan agama dan keterampilan hidup. Pendekatan ini membantu meningkatkan
kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar, sehingga mereka pun secara
simbolis "naik derajat".
No comments:
Post a Comment